TIDAK SERAGAMNYA TARIF BUS AKAP DI JAWA TIMUR
Tidak tahu apa memang kurangnya pengawasan dari Departemen Perhubungan terhadap P.O bus atau memang kurang pedulinya masyarakat terhadap pengawasan Peraturan Pemerintah. Hal ini sering menjadi kesempatan bagi awak dan operator bus untuk menaikkan tarif di atas ketentuan. Karena sesuai dengan peraturan seharusnya sudah ada perhitungan dengan margin keuntungan pada P.O Bus / pengelola. Secara logika jika dengan tarif yang sudah ditentukan itu, pastinya sudah termasuk berbagai variabel pendukung yang masuk pada ketentuan kelangsungan dari P.O. itu sendiri. Salah satu contoh variabel penentuan tariff disini adalah tentang tarif bahan bakar yang tentunya sudah di subsidi oleh pemerintah. Juga masalah onderdil dan biaya ketenagakerjaanya yang sudah banyak dibantu oleh subsidi pemerintah. Namun kenapa masih banyak pihak P.O / pengelola angkutan ekonomi ini yang tentunya banyak dibutuhkan oleh masyarakat melakukan pelanggaran pada ketentuan.
Salah satu hal yang sangat merugikan masyarakat kadang juga tidak banyak mendapatkan perhatian dari pihak terkait. Ataukah ini memang sudah dikondisikan seperti itu?. Kadang kala masyarakat ingin mengadukan hal ini sering kali sudah bosan atau pesimif tidak akan ada perhatian secara serius. Secara hati nurani mungkin hal itu dapat disimpulkan bahwa, pengaduan rakyat kecil masih kalah dengan kepentingan pengusaha. Walaupun secara hitungan kerugian perorangan itu dianggap kecil, namun jika dihitung secara global atau meenyeluruh apakah tidak besar?.
Mungkin ini juga bisa dijadikan referensi tentang pengalaman penulis, naik bus angkutan kota antar propinsi. Hal ini dialami sewaktu penulis naik Bus P.O. Laju, dari terminal Jember ke terminal Probolinggo yang secara hitungan merupakan 50 % jarak perjalanan ke Surabaya. Penulis dikenakan tariff sebesar Rp. 13.000,- dimana hal ini diketahui dari kembalian uang Rp. 50.000, yang mendapat kembalian sebesar Rp. 37.000,-. Setelah itu penulis meneruskan perjalanan ke Surabaya dengan berganti Bus Akas, disana penulis ditarik tarif sebesar Rp. 14.000,- hal ini diketahui dari uang yang penulis bayarkan sebesar Rp. 15.000,-, karena penulis berasumsi itu sudah akan dapat kembalian sebesar 2.000,- namun alangkah terkejutnya ternyata penulis hanya mendapatkan kembalian 1.000,-. Karena penulis jiga membaca dari table tariff bahwa tarif Bus dari Kota Jember menuju Kota Surabaya adalah Rp. 26.000,- Jadi dapat disimpulkan dimana masih ada P.O yang jujur dan konsekuen dengan aturan dari pemerintah. Dimana jika dilihat dari tabel ketentuan tarif dari Pemerintah paling tidak masih ada yang memberlakukan tarif dengan kelebihan sebesar Rp. 1.000,-. Jika dihitung dengan rata-rata tiap penumpang satu trip 100 maka satu trip yang dikantongi oleh awak atau operator Bus sebesar Rp. 200.000,- sedangkan untuk operasi bus biasanya 3 trip atau rit, bias dibayangkan berapa jumlah kelebihan dari tariff yang dikantongi oleh pihak awak Bus tersebut. Apakah hal itu juga tidak termasuk dalam penggelapan?.
Hal ini juga diperparah dari awak Bus yang notabene dimiliki oleh pemerintah, seperti Bus Damri, dimana penulis mengalami hal ini ketika tujuan penulis ke arah Kota Jember dari Kota Surabaya. Di mana yang seharusnya tarif ayng dikenakan sebesar Rp. 26.000,- namun penulis dikenakan tarif sebesar 27.000,-. Enatah kemana larinya kelebihan tarif itu.
Juga adanya pihak awak atau Operator Bus yang tidak jujur dan tidak taat pada Peraturan Pemerintah. Maka hal ini juga tergantung pada pengawasan dan penindakan secara tegas dari instansi terkait..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar